Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi
Selatan, 12
Januari 1631 dan
meninggal di Makassar, Sulawesi
Selatan, 12
Juni 1670 pada umur 39 tahun. Ia
adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe dan sebagai nama pemberian dari Qadi Islam
Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Muhammad Bafaqih Al-Aidid,
seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan sekaligus guru
tarekat dari Syeikh Yusuf dan Sultan Hasanuddin. Setelah menaiki Tahta sebagai
Sultan, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla
Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena
keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam
Jantan atau Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten
Gowa.
Ia
merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda
yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur
perdagangan.
Pada
tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis
Speelman,
Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil
menundukkan Gowa. Di lain pihak,
setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan
kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran
terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan,
karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni
minta bantuan tentara ke. Batavia. Pertempuran
kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan
sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga
akhirnya Kompeni berhasil menerobos bentengterkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan
Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan.
Pangeran
Diponogoro
Menyadari kedudukannya sebagai putra
seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III,
untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Dipanegara setidaknya menikah dengan 9
wanita dalam hidupnya, yaitu:
·
B.R.A. Retno
Madubrongto puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan
·
R.A. Supadmi yang
kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III,
Bupati Panolan, Jipang
·
R.A. Retnodewati
seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;
·
R.Ay. Citrowati,
puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu isteri selir
·
R.A. Maduretno,
putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi
R.A Maduretno saudara seayah dengan Sentot Prawirodirdjo, tetapi lain ibu
·
R.Ay. Ratnaningsih
putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan
·
R.A. Retnakumala
putri Kyahi Guru Kasongan
·
R.Ay. Ratnaningrum
putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II
Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk
Husain (Wanita dari Wajo, Makasar), makamnya ada di Makasar. Syarifah Fathimah
ini nasab lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin
Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk
Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain
Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.
Pangeran Diponogoro lebih tertarik pada
kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya,
permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya
terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana
V (1822) dimana Dipanegara menjadi salah satu
anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun,
sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama
Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Dipanegara.
Perang Diponogoro berawal ketika
pihak Belanda memasang patok di tanah milik Pangran Diponogoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia
memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat
setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap
Diponogoro yang menentang Belanda secara terbuka,
mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya Diponogoro menyingkir dari
Tegalrejo dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponogoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan
menghadapi kaum kafir. Semangat
"perang sabil" yang dikobarkan Diponogoro membawa pengaruh
luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Dipanegara di
Goa Selarong. Perjuangan Pangeran Dipanegara ini didukung oleh S.I.S.K.S.
Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan. Selama perang
ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai
cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponogoro. Bahkan sayembara
pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Dipanegara. Sampai akhirnya Dipanegara ditangkap pada 1830.
Perang
Diponegoro ada perang terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri,
kavaleri dan artileri yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam
pertempuran frontal di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front
pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran
berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai
pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut
kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik
dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang.
Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu
dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi
dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan
untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh
dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama. Karena taktik dan
strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan
besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan dan para
senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak
terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha
usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras
membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan
sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik
bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda
akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka
bergerak di desa dan kota untuk menghasut, memecah belah dan bahkan menekan
anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang
dibawah komando Pangeran Diponogoro. Namun pejuang
pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada
puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu
hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak
terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan
ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan
semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang
terbuka ,maupun metoda perang gerilya yang dilaksanakan melalui taktik hit and
run dan penghadangan. ini bukan sebuah perang suku. Tapi suatu perang modern
yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan.
perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf melalui insinuasi
dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang
terlibat langsung dalam pertempuran dan kegiatan telik sandi dimana kedua belah
pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan
lawannya.
Pada
tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponogoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga
Pasukan Dipanegara terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual
pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima
utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28
Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponogoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponogoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan
syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponogoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari
1855.
Perang
melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putera Pangeran Diponegoro.
Pangeran Alip atau Ki Sodewo atau bagus Singlon, Diponingrat, diponegoro Anom,
Pangeran Joned terus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat
Putera Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh
dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewo.
Berakhirnya
Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini
banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu
berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah
perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi
sebagian orang Kraton Yogyakarta. Diponogoro dianggap
pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke
Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Diponogoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan
yang dipunyai Diponogoro kala itu. Kini
anak cucu Diponogoro dapat bebas masuk
Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan
diusir
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan
Ageng Tirtayasa, beliau adalah pahlawan yang berasal dari provinsi Banten.
Lahir pada tahun 1631. Beliau putra dari Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu
Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640 - 1650.
Perjuangan beliau
salah satunya adalah menentang Belanda karena VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan kesultanan dan rakyat Banten.
Dimasa mudanya beliau diberi gelar Pangeran Surya. Peran Sultan Ageng dalam
perkembangan Islam di Banten sangat berpengaruh. Dia menginginkan Banten
mempunyai kerajaan Islam.
Langkah
yang beliau tempuh pertama dalam sektor ekonomi. Kesejahteraan rakyat
ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang sekaligus
berfungsi sebagai sarana perhubungan.
Sultan
Ageng tidak hanya mendobrak perekonomian rakyat menjadi lebih baik tetapi juga
berperan besar di bidang keagamaan. Dia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama
asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan
keagamaan dan penasehat sultan dalam bidang pemerintahan. Dia juga menggalakkan
pendidikan agama, baik di lingkungan kesultanan maupun di masyarakat melalui
pondok pesantren.
Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan
menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat. Nilai-nilai
yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai seorang pemimpin, ia
adalah pemimpin yang sangat amanah dan memiliki visi ke depan membangun
bangsanya. Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan
berbagai pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun.
Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang
memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan
baik dengan Makasar, Bangka, Cirebon dan Indrapur. Karakter Sultan Ageng
Tirtayasa mewakili karakter kepemimpinan dan intelektual. Bagi dia,
kepentingan rakyat adalah segala-galanya. Ketegasan pemimpin juga tidak kalah
penting.
Pada
tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia meninggal
dunia dalam penjara. Ia dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Banten di
sebelah utara Masjid Agung Banten.
Pattimura
Sebelum melakukan
perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.[3]Kata
"Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti
Tanah Raja-Raja, mengingat pada
masa itu banyaknya kerajaan
Pada
tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan
kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah
(landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta
mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa
Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon
dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas
bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu
Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas
militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam
pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada
tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena
kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua
abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan
Kapitan Pattimura. Maka pada waktu
pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para
Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima
perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi).
Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama
pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam
melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan,
menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya
dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam
perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan
Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang
berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan
kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris
Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran
yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir
Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan
Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di
pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon
dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu
domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya
dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16
Desember 1817 di kota Ambon.
Trunojoyo
Trunojoyo, seorang
keturunan bangsawan dari Madura tidak senang terhadap Amangkurat I, karena
pemerintahannya yang sewenang-wenang dan menjalin hubungan dengan Kompeni.
Perlawanan Trunojoyo di mulai pada tahun 1674, dengan menyerang Gresik. Dengan
berpusat di Demung dekat Panarukan, Trunojoyo melakukan penyerangan dan dalam
waktu singkat telah berhasil menguasai beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa
Tengah bahkan sampai pusat Mataram di Plered (Yogyakarta). Dalam perlawanan
ini, Trunojoyo dibantu oleh Raden Kajoran, Macan Wulung, Karaeng Bontomarannu,
dan Karaeng Galesung.
Pada tanggal 2 Juli 1677, pasukan Trunojoyo telah berhasil menduduki Plered,
ibukota Mataram. Amangkurat I yang sering sakit bersama putra mahkota, Adipati
Anom melarikan diri untuk minta bantuan kepada Kompeni di Batavia. Dalam
perjalanan, Amangkurat I meninggal di Tegal Arum (selatan Tegal), sehingga
dikenal dengan sebutan Sultan Tegal Arum. Adipati Anom kemudian menaiki takhta
dengan gelar Amangkurat II. Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat II minta
bantuan Kompeni, akan tetapi tidak ke Batavia namun ke Jepara. Pimpinan Kompeni
(VOC) Speelman menerima dengan baik Amangkurat II dan bersedia membantu dengan
suatu perjanjian (1678) yang isinya:
Ø VOC mengakui Amangkurat II sebagai raja
Mataram.
Ø VOC mendapatkan monopoli dagang di Mataram.
Ø Seluruh biaya perang harus diganti oleh
Amangkurat II
Ø Sebelum hutangnya lunas, pantai utara Jawa
digadaikan kepada VOC.
Ø Mataram harus menyerahkan daerah Kerawang,
Priangan, Semarang dan sekitarnya kepada VOC.
Setelah perjanjian ini ditandatangani
penyerangan di mulai. Pada waktu itu Trunojoyo telah berhasil mendirikan istana
di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno. Tentara VOC di bawah pimpinan Anthonie
Hurdt, yang dibantu oleh tentara Aru Palaka dari Makasar, Kapten Jonker dari
Ambon beserta tentara Mataram menyerang Kediri. Dengan mati-matian tentara
Trunojoyo menghadapi pasukan gabungan Mataram-VOC, tetapi akhirnya terpukul
mundur. Pasukan Trunojoyo terus terdesak, masuk pegunungan dan menjalankan
perang gerilya. Demi keselamatan sebagian pengikutnya, pada tanggal 25 Desember
1679 menyerah dan akhirnya gugur ditikam keris oleh Amangkurat II pada tanggal
2 Januari 1680. Dengan gugurnya Trunojoyo, terbukalah jalan bagi VOC untuk
meluaskan wilayah dan kekuasaannya di Mataram.
Untung Suropati
Untung, menurut cerita
adalah seorang putra bangsawan dari Bali, yang dibawa pegawai VOC ke Batavia.
Semula Untung dijadikan tentara VOC di Batavia. Dalam peristiwa Cikalong tahun
1684, merasa harga dirinya direndahkan, maka Untung berbalik melawan VOC.
Dengan peristiwa Cikalong tersebut, Untung tidak kembali ke Batavia, namun
melanjutkan perlawanan menuju Cirebon. Di Cirebon terjadi perkelahian dengan
Suropati dan Untung menang sehingga namanya digabungkan menjadi Untung
Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan menuju Kartasura,
dan disambut baik oleh Amangkurat II yang telah merasakan beratnya perjanjian
yang dibuat dengan VOC. Pada tahun 1686, datanglah utusan VOC di Kartasura di
bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud:
·
Merundingkan
soal hutang Amangkurat II
·
Menangkap
Untung. Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran.
Kapten Tack bersama anak
buahnya berhasil dihancurkan oleh Untung, dan Untung kemudian melanjutkan
perjalanan ke Jawa Timur hingga sampai di Pasuruan. Di Pasuruan inilah Untung
Suropati berhasil mendirikan istana dan mengangkat dirinya menjadi adipati
dengan gelar Adipati Ario Wironegoro, dengan wilayah seluruh Jawa Timur, antara
lain Blambangan, Pasuruhan, Probolinggo, Malang, Kediri dan Bangil. Di Bangil,
dibangun perbentengan guna menghadapi VOC.
Pada
tahun 1703, Amangkurat II wafat, putra mahkota Sunan Mas naik takhta. Raja baru
ini benci terhadap Belanda dan condong terhadap perlawanan Untung. Pangeran
Puger (adik Amangkurat II) yang ingin menjadi raja, pergi ke Semarang dan minta
bantuan kepada VOC agar diakui sebagai raja Mataram. Pada tahun 1704, Pangeran
Puger dinobatkan menjadi raja dengan gelar Paku Buwono I. Pada tahun 1705 Paku
Buwono I dan VOC menyerang Mataram. Sunan Mas melarikan diri dan bergabung
dengan pasukan Untung di Jawa Timur. Oleh pihak Kompeni di Batavia,
dipersiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menyerang Pasuruan. Di bawah
pimpinan Herman de Wilde, pasukan Kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung.
Dalam perlawanan di Bangil, Untung Suropati terluka dan akhirnya pada tanggal 2
Oktober 1706 gugur. Jejak perjuangannya diteruskan oleh putra-putra Untung,
namun akhirnya berhasil dipatahkan oleh Kompeni. Bahkan Sunan Mas sendiri
akhirnya menyerah, kemudian dibawa ke Batavia, dan diasingkan ke Sailan pada
tahun1708.
Dalam Kesadaran kolektif masyarakat
Indonesia memandang bahwa Pangeran Mangkubumi adalah pahlawan nasional yg
menentang VOC. Lantas benarkah demikian, jika kita runut dari babad Jawa pasca
geger pecinan di Kartasura, Pangeran Mangkubumi masih bahu-membahu dengan
saudara tirinya Susuhunan Sinuhun PB II. Mereka adalah sama-sama anak dari
Sinuhun Amangkurat IV yang mewarisi Mataram. Bedanya Pangeran Mangkubumi adalah
putra dari selir, sedangkan PB II adalah putra Mahkota. Memang harus diakui,
karena pemberontakan Trunojoyo tersebut membuat elite Kraton harus meminta
bantuan kepada VOC. Dan akhirnya pada 17 -2-1745, kedua elite kraton tersebut
menempati Kraton baru dekat pelabuhan Bengawan Beton. Sang Adikpun membentuk
tata pola bangunan Kraton untuk Sang Kakak.
Setelah PB II Wafat, kebencian Pangeran
mangkubumi pada VOC kembali muncul, lantaran yang diangkat oleh VOC adalah RM
Sugandi putra PB II untuk menjadi raja Surakarta jumeneng noto Tahun 1749. Bukannya dirinya yang juga
masih Putra Amangkurat IV meskipun dari garwa ampil atau selir Sejak
pengangkatan keponakannya menjadi PB III itulah, akhirnya P. Mangkubumi mulai
menyusun kekuatan untuk merebut Mataram Surakarta. Namun upayanya tidak berhasil
karena diadang oleh VOC yang mengakui kedaulatan PB III ( meski raja ini adalah
raja yang paling Lemah, dibanding PB IV, PBVI , PB IX dan PB X )di Surakarta
karena terjadinya perpecahan Mataram. Dan dalam paugeran Kraton pun selama
masih ada putra dari permaisuri, maka yang berhak menjadi putra mahkota
adalah putra permaisuri.
Karena merasa kecewa, Kemudian Pangeran
mangkubumi keluar menuju Sragen atau Sukowati. Di situlah P. mangkubumi
terlibat perang dengan, Mataram, Belanda dan Juga RM Said yang beroposisi
dengan Kraton. Namun pada suatu ketika Pasukan RM Said bisa bersekutu dengan
pengikut P. Mangkubumi , yang kemudian menyerang Mataram yang di beckingi oleh
VOC. Untuk menghindari menurunnya pasukan VOC karena perang, maka VOC
menawarkan perjanjian kepada pangeran Mangkubumi dan PB II yang kemudian
dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Kesepakatan tersebut membuahkan hasil
pemberian kekuasaan wilayah Mataram barat yakni sebelah Barat kali Opak / barat
Prambanan untuk P. Mangkubumi yang kemudian menjadi Negari
Ngayogyokarto dan Mataram Timur untuk PB III sebagai Negari
Surakarta.
Dengan hadiah dan kekuasaan dari
VOC tersebut akhirnya Pemberontakan P. Mangkubumi terhadap Surakarta berhenti
dengan sendirinya. P. Mangkubumi mengangkat dirinya menjadi Raja yang kedudukannya
setara dengan PB III dengan Gelar Sultan HB I meskipun melalui beberapa tahapan
dan persiapan. Untuk Kendaraan, PB III memakai kereta Kyahi Grodeo,
sedangkan P. Mangkubumi memakai Kanjeng Nyi Jimat. Dengan demikian, Perlawanan
dan kebencian P. Mangkubumi terhadap VOC, bukan merupakan perlawanan
mengusir penjajah asing secara murni, melainkan ada unsur memperoleh kekuasaan.
Dan hal tersebut masih wajar sesuai zaman serta peradaban waktu itu…., Ken Arok
saja bisa menyingkirkan Tunggul Ametung untuk menjadi pioneer raja-raja di
tanah Jawa.