Showing posts with label Tugas kelas 7. Show all posts
Showing posts with label Tugas kelas 7. Show all posts

Cara membuat teh susu hangat dalam bahasa inggris


English Language:

How to make sweet hot milk tea:

ingredients:
1. A spoon
2. A tea bag
3. 150 ml of hot water with a temperature of 40-80 Celsius
4. A Glass
5. A Spoonful milk
6. Some ice to taste


How to make:
1. Add hot water into a glass
2. Add a tea bag and a spoonful of milk
3. Mix well with spoon
4. Ready to serve


Dalam bahasa Indonesia:
In Indonesian Language:
Cara membuat Teh Susu Hangat:

Bahan:
1. Sendok makan
2. Teh dalam kantung
3. 150 ml air panas dengan temperatur 40-80 celcius
4. Sebuah Gelas
5. Sesendok susu


Cara membuat:
1. Masukan air panas ke dalam gelas
2. Tambahkan 1 kantung teh dan satu sendok penuh susu
3. Aduk hingga rata dengan sendok
4. Siap untuk disajikan

Contoh lainnya:
Cara membuat es teh manis dalam bahasa inggris
Posted by Fadlan Mumtaz
Fadlan Mumtaz Updated at: Sunday, March 18, 2018

7 Pejuang perlawanan VOC

Sultan Hasanuddin                                                                    
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun. Ia adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe dan  sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Muhammad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan sekaligus guru tarekat dari Syeikh Yusuf dan Sultan Hasanuddin. Setelah menaiki Tahta sebagai Sultan, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan atau Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa.

Ia merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke. Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos bentengterkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan.





Pangeran Diponogoro
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNfHU7jh5G8grU-7Vlscg_CXZVfpTmQsHnSG_SF61QhPIu20Fcyzc1EA4xwqWcJAfcwq81bnDHnvKNfFBO4BAq9I0StoIskk0DRPeBapLDNV1BVhDgHWPMj1-lwjCtReZusy_VSAzcDpS6/s1600/diponegoro_1.jpgPangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun. Ia adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada tahun 1825-1830, melawan pemerintah Hindia Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia.

Pangeran Diponogoro adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponogoro bernama kecil Raden Mas Antawirya.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Dipanegara setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya, yaitu:
·         B.R.A. Retno Madubrongto puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan
·         R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang
·         R.A. Retnodewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;
·         R.Ay. Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu isteri selir
·         R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi R.A Maduretno saudara seayah dengan Sentot Prawirodirdjo, tetapi lain ibu
·         R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan
·         R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan
·         R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II

Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makasar), makamnya ada di Makasar. Syarifah Fathimah ini nasab lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.
Pangeran Diponogoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Dipanegara menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Dipanegara.

Perang Diponogoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Pangran Diponogoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponogoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya Diponogoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponogoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponogoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Dipanegara di Goa Selarong. Perjuangan Pangeran Dipanegara ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan. Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponogoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Dipanegara. Sampai akhirnya Dipanegara ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro ada perang terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama. Karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan dan para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota untuk menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponogoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka ,maupun metoda perang gerilya yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran dan kegiatan telik sandi dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponogoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Dipanegara terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponogoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponogoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponogoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putera Pangeran Diponegoro. Pangeran Alip atau Ki Sodewo atau bagus Singlon, Diponingrat, diponegoro Anom, Pangeran Joned terus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat Putera Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewo.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta. Diponogoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Diponogoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponogoro kala itu. Kini anak cucu Diponogoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir

Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa, beliau adalah pahlawan yang berasal dari provinsi Banten. Lahir pada tahun 1631. Beliau putra dari Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640 - 1650.
Sultan Ageng TirtayasaPerjuangan beliau salah satunya adalah menentang Belanda karena VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan kesultanan dan rakyat Banten.

Dimasa mudanya beliau diberi gelar Pangeran Surya. Peran Sultan Ageng dalam perkembangan Islam di Banten sangat berpengaruh. Dia menginginkan Banten mempunyai kerajaan Islam.
Langkah yang beliau tempuh pertama dalam sektor ekonomi. Kesejahteraan rakyat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang sekaligus berfungsi sebagai sarana perhubungan.
Sultan Ageng tidak hanya mendobrak perekonomian rakyat menjadi lebih baik tetapi juga berperan besar di bidang keagamaan. Dia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan dan penasehat sultan dalam bidang pemerintahan. Dia juga menggalakkan pendidikan agama, baik di lingkungan kesultanan maupun di masyarakat melalui pondok pesantren. 

Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat. Nilai-nilai yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai seorang pemimpin, ia adalah pemimpin yang sangat amanah dan memiliki visi ke depan membangun bangsanya. Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun.

Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik dengan Makasar, Bangka, Cirebon dan Indrapur. Karakter Sultan Ageng Tirtayasa mewakili karakter kepemimpinan dan intelektual.  Bagi dia, kepentingan rakyat adalah segala-galanya. Ketegasan pemimpin juga tidak kalah penting.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia meninggal dunia dalam penjara. Ia dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Banten di sebelah utara Masjid Agung Banten.

Pattimura
Pattimura atau Thomas Matulessy lahir di Haria, pulau Saparua,Maluku, 8 Juni 1783 dan meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun. Ia juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.[3]Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja, mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura. Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon.


Trunojoyo
Trunojoyo, seorang keturunan bangsawan dari Madura tidak senang terhadap Amangkurat I, karena pemerintahannya yang sewenang-wenang dan menjalin hubungan dengan Kompeni. Perlawanan Trunojoyo di mulai pada tahun 1674, dengan menyerang Gresik. Dengan berpusat di Demung dekat Panarukan, Trunojoyo melakukan penyerangan dan dalam waktu singkat telah berhasil menguasai beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah bahkan sampai pusat Mataram di Plered (Yogyakarta). Dalam perlawanan ini, Trunojoyo dibantu oleh Raden Kajoran, Macan Wulung, Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Galesung.

Pada tanggal 2 Juli 1677, pasukan Trunojoyo telah berhasil menduduki Plered, ibukota Mataram. Amangkurat I yang sering sakit bersama putra mahkota, Adipati Anom melarikan diri untuk minta bantuan kepada Kompeni di Batavia. Dalam perjalanan, Amangkurat I meninggal di Tegal Arum (selatan Tegal), sehingga dikenal dengan sebutan Sultan Tegal Arum. Adipati Anom kemudian menaiki takhta dengan gelar Amangkurat II. Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat II minta bantuan Kompeni, akan tetapi tidak ke Batavia namun ke Jepara. Pimpinan Kompeni (VOC) Speelman menerima dengan baik Amangkurat II dan bersedia membantu dengan suatu perjanjian (1678) yang isinya:
Ø  VOC mengakui Amangkurat II sebagai raja Mataram.
Ø  VOC mendapatkan monopoli dagang di Mataram.
Ø  Seluruh biaya perang harus diganti oleh Amangkurat II
Ø  Sebelum hutangnya lunas, pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC.
Ø  Mataram harus menyerahkan daerah Kerawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya kepada VOC.
Setelah perjanjian ini ditandatangani penyerangan di mulai. Pada waktu itu Trunojoyo telah berhasil mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno. Tentara VOC di bawah pimpinan Anthonie Hurdt, yang dibantu oleh tentara Aru Palaka dari Makasar, Kapten Jonker dari Ambon beserta tentara Mataram menyerang Kediri. Dengan mati-matian tentara Trunojoyo menghadapi pasukan gabungan Mataram-VOC, tetapi akhirnya terpukul mundur. Pasukan Trunojoyo terus terdesak, masuk pegunungan dan menjalankan perang gerilya. Demi keselamatan sebagian pengikutnya, pada tanggal 25 Desember 1679 menyerah dan akhirnya gugur ditikam keris oleh Amangkurat II pada tanggal 2 Januari 1680. Dengan gugurnya Trunojoyo, terbukalah jalan bagi VOC untuk meluaskan wilayah dan kekuasaannya di Mataram.


Untung Suropati
Untung, menurut cerita adalah seorang putra bangsawan dari Bali, yang dibawa pegawai VOC ke Batavia. Semula Untung dijadikan tentara VOC di Batavia. Dalam peristiwa Cikalong tahun 1684, merasa harga dirinya direndahkan, maka Untung berbalik melawan VOC.

Dengan peristiwa Cikalong tersebut, Untung tidak kembali ke Batavia, namun melanjutkan perlawanan menuju Cirebon. Di Cirebon terjadi perkelahian dengan Suropati dan Untung menang sehingga namanya digabungkan menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan menuju Kartasura, dan disambut baik oleh Amangkurat II yang telah merasakan beratnya perjanjian yang dibuat dengan VOC. Pada tahun 1686, datanglah utusan VOC di Kartasura di bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud:
·         Merundingkan soal hutang Amangkurat II
·         Menangkap Untung. Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran.
Kapten Tack bersama anak buahnya berhasil dihancurkan oleh Untung, dan Untung kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur hingga sampai di Pasuruan. Di Pasuruan inilah Untung Suropati berhasil mendirikan istana dan mengangkat dirinya menjadi adipati dengan gelar Adipati Ario Wironegoro, dengan wilayah seluruh Jawa Timur, antara lain Blambangan, Pasuruhan, Probolinggo, Malang, Kediri dan Bangil. Di Bangil, dibangun perbentengan guna menghadapi VOC.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/c/c5/Untung_suropati.jpg/220px-Untung_suropati.jpgPada tahun 1703, Amangkurat II wafat, putra mahkota Sunan Mas naik takhta. Raja baru ini benci terhadap Belanda dan condong terhadap perlawanan Untung. Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang ingin menjadi raja, pergi ke Semarang dan minta bantuan kepada VOC agar diakui sebagai raja Mataram. Pada tahun 1704, Pangeran Puger dinobatkan menjadi raja dengan gelar Paku Buwono I. Pada tahun 1705 Paku Buwono I dan VOC menyerang Mataram. Sunan Mas melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Untung di Jawa Timur. Oleh pihak Kompeni di Batavia, dipersiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menyerang Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan Kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung. Dalam perlawanan di Bangil, Untung Suropati terluka dan akhirnya pada tanggal 2 Oktober 1706 gugur. Jejak perjuangannya diteruskan oleh putra-putra Untung, namun akhirnya berhasil dipatahkan oleh Kompeni. Bahkan Sunan Mas sendiri akhirnya menyerah, kemudian dibawa ke Batavia, dan diasingkan ke Sailan pada tahun1708.

Dalam Kesadaran kolektif masyarakat Indonesia memandang bahwa Pangeran Mangkubumi adalah pahlawan nasional yg menentang VOC. Lantas benarkah demikian, jika kita runut dari babad Jawa pasca geger pecinan di Kartasura, Pangeran Mangkubumi masih bahu-membahu dengan saudara tirinya Susuhunan Sinuhun PB II. Mereka adalah sama-sama anak dari Sinuhun Amangkurat IV yang mewarisi Mataram. Bedanya Pangeran Mangkubumi adalah putra dari selir, sedangkan PB II adalah putra Mahkota. Memang harus diakui, karena pemberontakan Trunojoyo tersebut membuat elite Kraton harus meminta bantuan kepada VOC. Dan akhirnya pada 17 -2-1745, kedua elite kraton tersebut menempati Kraton baru dekat pelabuhan Bengawan Beton. Sang Adikpun membentuk tata pola bangunan Kraton untuk Sang Kakak.
Setelah PB II Wafat, kebencian Pangeran mangkubumi pada VOC kembali muncul, lantaran yang diangkat oleh VOC adalah RM Sugandi putra PB II untuk menjadi raja Surakarta jumeneng noto Tahun 1749. Bukannya dirinya yang juga masih Putra Amangkurat IV meskipun dari garwa ampil atau selir Sejak pengangkatan keponakannya menjadi PB III itulah, akhirnya P. Mangkubumi mulai menyusun kekuatan untuk merebut Mataram Surakarta. Namun upayanya tidak berhasil karena diadang oleh VOC yang mengakui kedaulatan PB III ( meski raja ini adalah raja yang paling Lemah, dibanding PB IV, PBVI , PB IX dan PB X )di Surakarta karena terjadinya perpecahan Mataram. Dan dalam paugeran Kraton pun selama masih ada putra dari permaisuri, maka yang berhak menjadi putra mahkota adalah putra permaisuri.
Karena merasa kecewa, Kemudian Pangeran mangkubumi keluar menuju Sragen atau Sukowati. Di situlah P. mangkubumi terlibat perang dengan, Mataram, Belanda dan Juga RM Said yang beroposisi dengan Kraton. Namun pada suatu ketika Pasukan RM Said bisa bersekutu dengan pengikut P. Mangkubumi , yang kemudian menyerang Mataram yang di beckingi oleh VOC. Untuk menghindari menurunnya pasukan VOC karena perang, maka VOC menawarkan perjanjian kepada pangeran Mangkubumi dan PB II yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Kesepakatan tersebut membuahkan hasil pemberian kekuasaan wilayah Mataram barat yakni sebelah Barat kali Opak / barat Prambanan untuk P. Mangkubumi yang kemudian menjadi Negari Ngayogyokarto dan Mataram Timur untuk PB III sebagai Negari Surakarta.

Dengan hadiah dan kekuasaan dari VOC tersebut akhirnya Pemberontakan P. Mangkubumi terhadap Surakarta berhenti dengan sendirinya. P. Mangkubumi mengangkat dirinya menjadi Raja yang kedudukannya setara dengan PB III dengan Gelar Sultan HB I meskipun melalui beberapa tahapan dan persiapan. Untuk Kendaraan, PB III memakai kereta Kyahi Grodeo, sedangkan P. Mangkubumi memakai Kanjeng Nyi Jimat. Dengan demikian, Perlawanan dan kebencian P. Mangkubumi terhadap VOC, bukan merupakan perlawanan mengusir penjajah asing secara murni, melainkan ada unsur memperoleh kekuasaan. Dan hal tersebut masih wajar sesuai zaman serta peradaban waktu itu…., Ken Arok saja bisa menyingkirkan Tunggul Ametung untuk menjadi pioneer raja-raja di tanah Jawa.
Posted by Fadlan Mumtaz
Fadlan Mumtaz Updated at: Tuesday, September 29, 2015